Minggu, 15 Juni 2014

Pengertian Qiyas


======================================================================


QIYAS


A. Pengertian Qiyas
            Menurut DR. Wahab az Zuhaili, qiyas ialah:
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في علة الحكم[1]
Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya  dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara kduanya. (Satria; 130)
Pengertian tersebut senada dengan definisi yang diberikan oleh para ahli Ushul Fiqh. Mereka mengatakan, “qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.[2]
Dari definisi di atas terlihat bahwa unsur-unsur qiyas itu adalah sebagai berikut:
1.      Ada peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
2.      Ada peristiwa yang sudah ada ketentuan hukumnya di dalam nash.
3.      Ada persamaan ‘illat hukum di antara kedua peristiwa itu.
4.      Peristiwa yang tidak ditetapkan hukumnya oleh nash dipersamakan dengan hukum peristiwa yang sudah ditetapkan oleh nash.

Beberapa contoh penerapan qiyas yang dilakukan oleh para ulama antara lain:
1.      Haram meminum nabiz seperti minuman beralkohol, sabu-sabu, ganja, dan sebagainya. Nash yang melarang ini secara eksplisit tidak ada. Tetapi ada ayat al-Qur’an yang melarang meminum khamar :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Al-Maidah : 90)
‘illatnya, karena sama-sama memabukkan.

1.      Calon penerima wasiat tidak berhak mendapatkan harta wasiat apabila ia membunuh orang yang memberikan wasiat kepadanya. Ketentuan seperti ini tidak ada nash eksplisit yang mengaturnya, tetapi ada peristiwa serupa yang ditetapkan oleh nash dengan jelas dan tegas yaitu peristiwa pembunuhan yang dilaukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya. Nash tersebut berupa sabda Rasulullah saw :

ليس  للقاتل من المقتول شيء (رواه النسائ)
Bagi orang yang membunuh tidak ada hak mempusakai harta peninggalan (orang yang dibunuh) sedikitpun. (H.R. an-Nasa’i)
                  Berdasarkan hadits ini, pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuhnya. Illat hukum terhalang mendapat warisan tersebut adalah tindak pidana yang diharamkan Allah karena ingin mempercepat memperoleh harta warisan. Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh calon penerima wasiat terhadap pemberi wasiat, illat hukumnya juga sama  yaitu tindak pidana pembunuhan untuk mendapatkan harta wasiat sehingga hukumnya disamakan dengan hukum pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap warisnya, yaitu terhalang menerima harta wasiat.
2.      Haram melakukan segala pekerjaan, seperti bercocok tanam, nonton televisi, dan lainnya apabila azan kedua salat jum’at dikumandangkan. Nash yang melarang perbuatan tersebut secara eksplisit  tidak ada, tetapi ada ayat al-Qur’an yang melarang umat Islam melakukan jual beli jika azan jum’at dikumandangkan. Ayat tersebut berbunyi:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at , maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S Al-Jumu’ah : 9)

Illat hukum larangan jual beli apabila azan jum’at dikumandangkan adalah perbuatan itu melalaikan shalat. Melakukan pekerjaan seperti bercocok tanam dan lain-lain selain jual beli saat azan berkumandang juga melalaikan shalat. Karena itu kegiatan tersebut juga dilarang  karena ada persamaan illat hukum dengan jual beli.



A.    Rukun Qiyas

            Rukun qiyas ada empat, yaitu: (1) al-ashl (pokok), (2) al-far’u (cabang), (3) hukum ashl, dan (4) ‘illat.

  1.  Al-ashl (pokok), disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkannya), atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya). Yang dimaksud dengan ashl ialah perbuatan hukum yang ada nashnya secara eksplisit yang dijadikan sebagai tempat menganalogikan (mengqiyaskan).
  2. Al-far’u (cabang) atau sering pula disebut maqis (yang diqiyaskan) atau musyabbah (yang diserupakan). Yang dimaksud dengan al-far’u ialah peristiwa atau kejadian yang belum ada hukumnya secara eksplisit didalam nash dan diperlukan penetapan hukumnya.
  3. Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapakan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
  4. ‘illat, yaitu sifat yang terdapat pada peristiwa  yang al-ashl (pokok) yang menyebabkan  yang al-ashl itu mempunyai ketentuan hukum. ‘illat (sifat) yang sama terdapat pula pada peristiwa al-far’u (cabang), maka disamakan dengan hukum al-ashl.



B.     Pembagian Qiyas
            Qiyas itu dibagi menjadi:

Qiyas Dalalah, yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengkiyaskan harta milik anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati  lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab menunaikan haji itu tidak wajib bagi anak-anak yang belum dewasa (mukallaf).

Qiyas Shibi, yakni suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq bih, akan tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaan dengan mulhaq. Misalnya seorang hamba sahaya dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu bisa diqiyaskan dengan orang merdeka, karena memang  keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya adalah sama-sama dapat dimiliki. Tetapi  budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda. Yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan, dihadiahkan, diwarisakan, dan sebagainya. Oleh karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba sahaya yang dirusakkan tadi dapat diganti dengan yang senilai.

Qiyas ‘illat, yakni suatu qiyas yang ‘illatnya yang mewajibkan adanya hukum. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “uff” (cih, hus) kepada keduanya, yang tersebut dalam fiman Tuhan:

Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al-Isra : 23)

Mengatakan “uf” (cih, hus, ah) kepada ibu bapak dilarang, karena ‘illatnya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu memukul kedua orang tua tentu lebih utama untuk dilarang, sebab di samping menyakitkan hati, juga menyakitkan jasmaninya.


  
Pendapat kami tentang Qiyas

Setelah mengetahui bagaimana kerja Qiyas untuk sebuah hukum, maka kami berpendapat bahwa Qiyas adalah salah satu metode yang sangat penting untuk menentukan sebuah hukum. Apalagi di zaman era globalisasi saat ini, banyak sekali hukum-hukum yang belum atau tidak kita ketahui tentang kebolehannya. Contohnya saja seperti diharamkan memajang foto yang terlihat aurat di jejaringan social seperti Facebook, Twitter, Instagram, Blackberry Messenger dan lain-lain. Ketentuan seperti ini tidak ada nash eksplisit yang mengaturnya, akan tetapi ada perintah untuk menutup aurat, firman Allah SWT :

Artinya :Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S An-Nur : 31)

Dalam surah tersebut sangat jelas bahwa Allah SWT melarang orang yang membuka auratnya. Maka dari itu diqiyaskan bahwa memperlihatkan foto yang terlihat aurat juga dilarang karena ‘illatnya sama-sama membuka aurat.



[1] DR. ahhab az-Zuhaili, ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, 2005, juz I, hlm. 574.
[2] Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar