======================================================================
QIYAS
A. Pengertian Qiyas
Menurut
DR. Wahab az Zuhaili, qiyas ialah:
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما
في علة الحكم[1]
Menghubungkan (menyamakan
hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya
karena ada persamaan ‘illat antara kduanya.
(Satria; 130)
Pengertian
tersebut senada dengan definisi yang diberikan oleh para ahli Ushul Fiqh.
Mereka mengatakan, “qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya
persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.[2]”
Dari definisi
di atas terlihat bahwa unsur-unsur qiyas itu adalah sebagai berikut:
1.
Ada peristiwa
yang belum ada ketentuan hukumnya di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
2.
Ada peristiwa
yang sudah ada ketentuan hukumnya di dalam nash.
3.
Ada persamaan
‘illat hukum di antara kedua peristiwa itu.
4.
Peristiwa yang
tidak ditetapkan hukumnya oleh nash dipersamakan dengan hukum peristiwa yang
sudah ditetapkan oleh nash.
Beberapa contoh
penerapan qiyas yang dilakukan oleh para ulama antara lain:
1.
Haram meminum
nabiz seperti minuman beralkohol, sabu-sabu, ganja, dan sebagainya. Nash yang
melarang ini secara eksplisit tidak ada. Tetapi ada ayat al-Qur’an yang
melarang meminum khamar :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S Al-Maidah : 90)
‘illatnya,
karena sama-sama memabukkan.
1.
Calon penerima
wasiat tidak berhak mendapatkan harta wasiat apabila ia membunuh orang yang memberikan
wasiat kepadanya. Ketentuan seperti ini tidak ada nash eksplisit yang
mengaturnya, tetapi ada peristiwa serupa yang ditetapkan oleh nash dengan jelas
dan tegas yaitu peristiwa pembunuhan yang dilaukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya. Nash tersebut berupa sabda Rasulullah saw :
ليس للقاتل من المقتول شيء
(رواه النسائ)
Bagi orang yang membunuh tidak ada hak mempusakai harta peninggalan
(orang yang dibunuh) sedikitpun. (H.R. an-Nasa’i)
Berdasarkan
hadits ini, pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang
dibunuhnya. Illat hukum terhalang mendapat warisan tersebut adalah tindak
pidana yang diharamkan Allah karena ingin mempercepat memperoleh harta warisan.
Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh calon penerima wasiat terhadap pemberi
wasiat, illat hukumnya juga sama yaitu
tindak pidana pembunuhan untuk mendapatkan harta wasiat sehingga hukumnya
disamakan dengan hukum pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
warisnya, yaitu terhalang menerima harta wasiat.
2.
Haram melakukan
segala pekerjaan, seperti bercocok tanam, nonton televisi, dan lainnya apabila
azan kedua salat jum’at dikumandangkan. Nash yang melarang perbuatan tersebut secara
eksplisit tidak ada, tetapi ada ayat
al-Qur’an yang melarang umat Islam melakukan jual beli jika azan jum’at
dikumandangkan. Ayat tersebut berbunyi:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada hari jum’at , maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (Q.S Al-Jumu’ah : 9)
Illat hukum larangan jual beli
apabila azan jum’at dikumandangkan adalah perbuatan itu melalaikan shalat.
Melakukan pekerjaan seperti bercocok tanam dan lain-lain selain jual beli saat
azan berkumandang juga melalaikan shalat. Karena itu kegiatan tersebut juga
dilarang karena ada persamaan illat
hukum dengan jual beli.
A.
Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada
empat, yaitu: (1) al-ashl (pokok), (2) al-far’u (cabang), (3) hukum ashl,
dan (4) ‘illat.
- Al-ashl (pokok), disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkannya), atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya). Yang dimaksud dengan ashl ialah perbuatan hukum yang ada nashnya secara eksplisit yang dijadikan sebagai tempat menganalogikan (mengqiyaskan).
- Al-far’u (cabang) atau sering pula disebut maqis (yang diqiyaskan) atau musyabbah (yang diserupakan). Yang dimaksud dengan al-far’u ialah peristiwa atau kejadian yang belum ada hukumnya secara eksplisit didalam nash dan diperlukan penetapan hukumnya.
- Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapakan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
- ‘illat, yaitu sifat yang terdapat pada peristiwa yang al-ashl (pokok) yang menyebabkan yang al-ashl itu mempunyai ketentuan hukum. ‘illat (sifat) yang sama terdapat pula pada peristiwa al-far’u (cabang), maka disamakan dengan hukum al-ashl.
B.
Pembagian Qiyas
Qiyas
itu dibagi menjadi:
Qiyas Dalalah, yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti mengkiyaskan harta milik
anak kecil kepada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat
dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat
bertambah. Dalam masalah ini imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta
benda anak yang belum dewasa tidak wajib dizakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab
menunaikan haji itu tidak wajib bagi anak-anak yang belum dewasa (mukallaf).
Qiyas Shibi, yakni suatu qiyas yang mulhaqnya dapat diqiyaskan kepada dua
mulhaq bih, akan tetapi ia diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak
persamaan dengan mulhaq. Misalnya seorang hamba sahaya dirusakkan oleh
seseorang. Budak yang dirusakkan itu bisa diqiyaskan dengan orang merdeka,
karena memang keduanya adalah sama-sama
keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya
adalah sama-sama dapat dimiliki. Tetapi
budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda. Yaitu sama-sama dapat
diperjualbelikan, dihadiahkan, diwarisakan, dan sebagainya. Oleh karena sahaya
tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba sahaya yang dirusakkan tadi
dapat diganti dengan yang senilai.
Qiyas ‘illat, yakni suatu qiyas yang ‘illatnya
yang mewajibkan adanya hukum. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua
dengan mengatakan “uff” (cih, hus) kepada keduanya, yang tersebut dalam fiman
Tuhan:
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al-Isra
: 23)
Mengatakan “uf”
(cih, hus, ah) kepada ibu bapak dilarang, karena ‘illatnya ialah menyakitkan
hati. Oleh karena itu memukul kedua orang tua tentu lebih utama untuk dilarang,
sebab di samping menyakitkan hati, juga menyakitkan jasmaninya.
Pendapat kami tentang Qiyas
Setelah
mengetahui bagaimana kerja Qiyas untuk sebuah hukum, maka kami berpendapat
bahwa Qiyas adalah salah satu metode yang sangat penting untuk menentukan sebuah
hukum. Apalagi di zaman era globalisasi saat ini, banyak sekali hukum-hukum
yang belum atau tidak kita ketahui tentang kebolehannya. Contohnya saja seperti
diharamkan memajang foto yang terlihat aurat di jejaringan social seperti
Facebook, Twitter, Instagram, Blackberry Messenger dan lain-lain. Ketentuan
seperti ini tidak ada nash eksplisit yang mengaturnya, akan tetapi ada perintah
untuk menutup aurat, firman Allah SWT :
Artinya : “Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S An-Nur : 31)
Dalam surah tersebut sangat jelas bahwa Allah SWT melarang
orang yang membuka auratnya. Maka dari itu diqiyaskan bahwa memperlihatkan foto
yang terlihat aurat juga dilarang karena ‘illatnya sama-sama membuka aurat.
[1] DR.
ahhab az-Zuhaili, ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, 2005,
juz I, hlm. 574.
[2]
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, PT, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar