==================================================================
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada beberapa istilah kata “Manusia” dalam bahasa Arab, misalnya saja seperti “Al-insan” yang berari manusia yang mempunyai hati nurani (insan kamil), “Al-basyar” yang berarti manusia yang berbentuk lahiriah, “An-Nas” yang berarti manusia secara umum (people), dan juga “Bani Adam” yang berarti turunan atau cucu nabi adam.
Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.
Oleh karena itu, sangat strategis jika pembahasan tentang hakekat manusia ditempatkan pada seluruh pengkajian tentang pendidikan, dengan harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya. Untuk mencapai pengetahuan hakikat manusia tersebut maka akan dikemukakan materi yang meliputi : arti dan wujud sifat hakikat manusia, dimensi dimensinya, pengembangan dimensi tersebut dan sosok manusia Indonesia seutuhnya.
B. Rumusan Masalah
· Apa saja dimensi hakikat manusia dan apa saja yang mempengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhinya ?
C. Tujuan Penulisan
· Agar mahasiswa mengetahui apa saja dimensi hakikat manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
· Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan yang dibimbing oleh bpk Drs. Husni Thamrin, M.Pd Selaku dosen pengasuh mata kuliah Ilmu Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Hakekat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan dalam bentuk paling sempurna. Manusia adalah makhluk spiritual yang akan menjalani fase-fase peristiwa kehidupan baik sebelum lahir, sekarang maupun setelah mati.
Kalimat diatas mungkin terlalu filosofis, namun sebenarnya merupakan istilah sederhana yang bisa dipahami. Spiritual merupakan aspek non fisik yang mampu memberikan kekuatan manusia untuk lebih dari sekedar hidup. Bukti akan hakekat manusia sebagai makhluk spiritual mungkin dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh berikut.
Ketika menjalani hidup sehari-hari, manusia tidak selamanya dalam kondisi bahagia. Namun kadang mengalami musibah, nikmat, susah, senang, sedih bahkan terkadang merasakan kesuksesan diluar rencana.Semuanya itu datang silih berganti seperti sudah ada keteraturan. Inilah salah satu nuansa spiritual yang ada pada manusia.
Dalam hal rasa, manusia mempunyai interpretasi berbeda-beda tentang apa yang dirasakan hati. Perasan senang, susah, enak ataupun nggak enak merupakan fenomena hati yang sudah biasa terjadi. Tukang becak yang tiduran di halte kadang lebih pulas daripada pengusaha yang tidur di hotel berbintang. Orang miskin yang pandai bersyukur akan lebih kaya dari konglomerat yang gila dunia. Semuanya tergantung dari bagaimana seseorang menyikapi apa yang dialaminya.
Perasaan manusia tidak mutlak adanya. Jika ia merasakan sesuatu pasti ia merasakan hal lain yang paradoks dengan apa yang ia rasakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa senang yang sebenar-benarnya senang itu tidak ada. Yang ada adalah senang yang diliputi susah ataupun susah yang diliputi senang. Sebagai contoh kalau kita berjuang memajukan merpati putih, yang kita rasakan adalah susah karena capek memikirkan, bertindak, beinovasi. Namun dibalik kesusahan itu ada perasaan bangga dan gembira melihat apa yang telah kita perjuangkan.
Pada dasarnnya ada tiga aspek pokok dalam diri manusia yaitu fisik, mental dan spiritual. Aspek fisik merupakan segala hal yang dapat dirasakan oleh panca indra manusia. Aspek mental yang membedakan manusia dengan dengan makhluk lain. Dengan adanya mental manusia dapat berfikir, mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk suatu permasalahan. Sedangkan spiritual dapat diibaratkan sebagai navigator kehidupan. Dia yang akan memberikan warna dan arah dari kehidupan yang dijalani manusia.
Dan pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta, maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya, misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur materi yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Oleh karena itu manusia adalah mahkluk bertuhan. (Asy’ari, 1999).
B. Dimensi Hakikat Manusia
Para ahli mengatakan bahwa pada abad ke- 20 manusia mengalami krisis total, disebut demikian karena yang dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi dan sebagainya, melaikan yang dilanda krisis ialah manusia itu sendiri. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyrakat, dengan lingkunganya, dengan tuhannya, maupun dengan dirinya sendiri. tidak ada hubungan pengenalan, pemahaman dan kemesraan dengan sesama manusia. Dalam hal inilah yang melanda manusia sehingga manusia semakin jauh dari kebahagian.
Dalam hubugan ini pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai wahana untuk mengantar peserta didik untuk mencapai kebahagiaan yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatakan kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkunganya dan tuhannya. Untuk menciptakan rasa kebersamaan dengan individu lain nya, rasa menghormati, serta menjalin hubungan yang baik, maka diperlukan dimensi-dimensi dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya manusia yang sempurna dan berahklak yang baik.
dimensi-dimensi tersebut ialah :
1. Dimensi keindividuan
2. Dimensi kesosialan
3. Dimensi kesusilaan
4. Dimensi keberagamaan
Dengan menerapkan keempat dimensi ini maka akan tercapailah manusia yang sempurna dan berakhlak baik.
a. Dimensi keindividuan
1. Pengertian
Manusia sebagai makhluk individu dimaksudkan sebagai orang yang utuh (individual; in-devide : tidak terbagi) yang terdiri dari kesatuan fisik dan pisikis. Keberadaan ini bersifat unik (unique), artinya berbeda antara yang satu dari yang lainnya.
Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan perujudan individualitas manusia. Kesadaran ini mencakup pengertian yang sangat luas diantaranya ; kesadaran akan realitas, selfrespect, selfnarcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbadaan dan persamaan terhadap potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar dari self realisasi.
Manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda-beda dari yang lainnya atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada individu yang identik dimuka bumi ini, bahkan dua anak yang kembar sekalipun pasti mempunyai perbedaan, hanya serupa namun tidak sama apalagi identik.
Kita ambil contoh, ada dua orang yang kembar, yang mempunyai tangan dan kaki yang sama. Akan tetapi kembar pertama menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan kejahatan dan kembar kedua menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan kebaikan. Secara tidak langsung kembar kedua tidak ingin disamakan dengan kembar pertama karena perilaku kembar pertama tidak baik. Maka dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap manusia itu serupa tetapi tidak sama.
Manusia juga diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasa’an) sehingga sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak, setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikat individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). kepribadian seseorang yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (indevide). Setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya) dengan adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
M.J.Lavengeld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain, (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan, sifat-sifat sebagaimana di gambarkan diatas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir perlu ditumbuhkan dikembangkan melalui pendidika agar bisa menjadi kenyata’an. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian yang unik, serta kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia.
Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya, sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Jika terjadi hal demikian seorang tidak memilki kepribadian yang otonom dan orang seperti ini tidak akan memilki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa, padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk keribadianya atau menemukan kemandiriannya sendiri.
2. Faktor yang mempengaruhi dimensi keindividuan
a. Lingkungan
Diantara faktor yang mempengaruhi berkembangnya individu sangatlah berfariasi, dalam pemaparan kali ini, factor yang ada hanyalah sebagian kecil dari factor-faktor yang lain, Murray menekankan factor yang mempengaruhi individu ialah kebutuhan dan motifasi merupakan penekanan yang cukup berpengaruh. Dipihak lain murray juga menekankan tuntutan lingkungan (environmental press), tuntutan lingkungan adalah kekuatan-kekuatan dari orang lain yang dapat mengarahkan perilaku seseorang.
b. Pendidikan
Sebagai contoh, melihat seorang teman yang memperoleh nilai terbaik di kelasnya, mungkin dapat menjadi sebuah dorongan yang memacu usaha seorang teman untuk menjadi unggul. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam pendidikan antara lain :
Menurut teori nativisme, teori ini menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi di bidang pendidikan yaitu bahwasanya individu lahir ke bumi membawa faktor turunan, yang dibawa sejak lahir yang berasal dari orang tuanya. Teori nativisme pada umumnya mempertahankan konsepsinya yang menunjukan berbagai kesama’an atau kemiripan antara orang tuanya dengan anaknya, sebagai contoh: orang tua yang memiliki keahlian dibidang sainsmaka akan memiliki keturunan yang sama dengannya.
Namun teori nativisme tidak memberikan implikasi yang tidak kondusif bagi pendidikan. Teori ini tidak memberikan kemungkinan bagi pendidik dalam upaya mengubah kepribadian peserta didik. Berdasarkan hal itu, peran pendidik dan sekolah sangat kecil sekali dapat dipertimbangan untuk mengubah kepribadian. Sebab pendidikan dipandang tidak berfungsi untuk mengubah keadaan anak, anak akan tetap sesuai dengan dasar yang dimilikinya. Namun demikian, hal tesebut bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya. Karena terbukti sejak dahulu hingga sekarang, para orang tua dan guru, baik dirumah maupun disekolah, mereka mendidik anak/siwa siswinya karena pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan harus dilakukan dalam rangka membantu anak/siswa agar berkembang sesuai yang diharapkan.
c. Masyarakat
Masyarakat juga memberikan pengaruh terhadap individu karena masyarakat merupakan tempat kedua bagi individu dalam berinteraksi. Karena keluarga terdapat dan berkumpul dalam suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak keadaan masyarakat cukup member pengaruh kepada kepribadian seseorang. Kedudukan individu dalam masyarakat merupakan kondisi atau situasi yang tidak dapat dihindari karena individu juga merupakan makhluk sosial yang pasti membutuhkan manusia lain dalam hidupnya. Artinya, individu itu dependen dalam masyarakat.
b. Dimensi kesosialan
1. pengertian
Dimensi kesosialan merupakan dimensi yang pada dasarnya setiap individu diharapkan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya dengan dasar-dasar yang baik agar dalam perkembangan selanjutnya tidak meninggalkan bibit-bibit perpecahan antara satu dengan yang lainnya demi terciptanya masyarakat yang lebih kondusif.
Seseorang akan menemukan jati dirinya manakala berada diantara orang banyak artinya manusia tidak mengenali dirinya dan dapat mewujudkan potensinya sebelum dia berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia adalah makhluk social sekaligus juga makhluk individu. Dimaksudkan disini manusia berbeda dengan lainnya, namun manusia sangat membutuhkan manusia lain karena manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia hidup dalam suasana interdependensi (saling ketergantungan) dalam antar hubungan dan antaraksi. Sebagai contoh posisi keluarga atau orang tua dalam menentukan disiplin anak. Bahwasanya anak itu juga manusia yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang disekitarnya untuk mendidik sang anak.
2. Faktor yang mempengaruhi dalam dimensi kesosialan
a. Masyarakat
Manusia dilahirkan sebagai suku bangsa tertentu, Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat menyangkut nilai-nilai sosial, pola perilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, yang terjadi secara cepat atau lambat memiliki pengaruh mendasar bagi pendidikan. Masyarakat sipil terdiri dari aneka kekuatan dan gerakan yang membawa dampak perubahan disana sini.
b. Pendidikan
Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.
c c. Dimensi kesusilaan
1. Pengertian
Susila berasal dari bahasa Sanskerta. Susila berasal dari dua kata yaitu “su” yang artinya baik, dan “sila” yang artinya perbuatan. Jadi susila adalah segala perbuatan yang baik. Jadi hubungan dari hakekat manusia dengan dimensi kesusilaan adalah dimana seluruh dari hakekat manusia hendaknya merupakan susila atau perbuatan yang baik. Disamping itu, dalam menjalankan hakekat sebagai manusia kita juga harus berpedoman pada etika berprilaku yang baik dan sopan terhadap sesama.
Dimensi kesusilaan bisa juga disebut dengan keputusan yang lebih tinggi. kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Etika adalah (persoalan kebaikan) sedangkan etiket adalah (persoalan kepantasan dan kesopanan). Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya. Sehingga dikatakan manusia itu makhluk susila. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai kehidupan. Susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih sempurna.
Nilai kehidupan adalah norma yang berlaku dalam masyarakat, moral ialah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Dalam moral diajarkan segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai buruk yang ditinggalkan.
Tahapan perkembangan nilai-nilai yang terkandung dalam dimensi ini memiliki berbagai macam tingkatan, antara lain:
a. Tingkatan pertama, Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, nilai dianggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya.
b. Tingkatan kedua, Pada tahapan ini, seseorang tidak lagi tergantung pada aturan yang secara mutlak mengaturnya, namun seseorang menjadikan aturan sebagai suatu yang dianggap sebagai aturan yang membuatnya tidak bebas dan selalu mengikuti kehendak pribadi.
c. Tingkatan ketiga, Pada tingkatan ini seorang anak memasuki umur belasan tahun, dimana mereka mempelihatkan orientasi perbuatan yang dinilai baik.
d. Tingkatan keempat, Pada tahapan ini, perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya dapat diterima, melainkan bertujuan agar ikut mempertahankan aturan dan norma-norma.
e. Tingkatan kelima, Tingkatan ini merupakan tahapan orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat.
2. Faktor yang mempengaruhi dalam dimensi kesusilaan
Faktor yang mempengahuri pertumbuhan dan perkembangan kesusilaan manusia pada lingkungan keseharian pada dasarnya seseorang diharapkan mampu memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalam unsur masyarakat. Pengamalan disini tidak hanya pengamalan semata, namun harus diajarkan dan diresapi sedemikian mungkin sampai terciptanya llingkungan yang harmonis dan itu terus berkelanjutan.
Manusia yang lahir dilengkapi dengan kata hati atau hati nurani, sehingga memiliki potensi untuk dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, sehingga ia memiliki pengetahuan. Manusia sebagai mahkluk susila mampu memikirkan dan menciptakan norma-norma untuk mengatur hidupnya baik kehidupan pribadi maupun sosialnya. Manusia merupakan mahkluk yang mampu memahami nilai-nilai susila dan mampu mengambil keputusan susila serta sekaligus ia memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya terhadap perbuatan susila dan perilakunya.
Manusia bukan hanya organisme yang hanya mengetahui melainkan juga organisme yang mampu menilai perbuatan susila baik dirinya sendiri maupun orang lain. Manusia susila adalah manusia yang memiliki, menghayati dan melakukan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia mampu mengkristalisasikan dan mengintegrasikan nilai-nilai yang tumbuh dalam pengalaman hidupnya, menyatu dengan penghayatan nilai pribadinya menjadi suatu pandangan hidup yang tersusun secara sistematis dalam suatu system nilai.
Pandangan manusia sebagai mahkluk susila didasari oleh kepercayaan bahwa budi nurani manusia memiliki potensi dasar nilai. Kesadaran manusia akan nilai tidak dapat dipisahkan dengan realitas social karena fungsinya nilai-nilai dan efektifnya nilai-nilai hanya berada dalam kehidupan social. Jadi, kesusilaan dan moralitas merupakan fungsi social, sehingga setiap hubungan social mengandung fungsi susila atau hubungan moral. Tidak ada hubungan sosial tanpa hubungan susila dan sebaliknya (Noorsyam, 1984).
d d. Dimensi keberagamaan
1. Pengertian
Manusia adalah makhluk yang religius yang dianugrahi ajaran-ajaran yang dipercayainya. Ajaran tersebut akan ada apabila didapatkan melalaui bimbingan nabi. Manusia juga akan mendapatkan pelajaran agama dari orang tua,guru agama, dan orang yang mengerti agama. Karena kita diwajibkan memiliki agama untuk keselamatan hidup dan ketentraman hati. Contohnya orang yang beragama islam, kristen, katolik, hindu dan budha.
Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk lemah sehingga memerlukan tempat bertopang atau tempang mengadu. manusia memerlukan agama demi keselamatan dan ketentraman hidupnya.
Disini islam sebagai jalan hidup telah berdiri kokoh dan setabil, karena Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, ini adalah firman abadi dari Tuhan yang dinyatakan dalam situasi manusia yang berbeda melalui Nabi dan kitab suci yang berbeda-beda. Stabilitas islam berasal dari kepatuhan hukum Ilahi, yang menentukan aspek kehidupan, hal ini pada umumnya juga diajarkan oleh agama-agama yang lainya, namun islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama yang lainya, dalam hal ini Allah swt berfirman :
Artinya : “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” [An-Nahl : 89]
Dengan demikian berarti ruang lingup ajaran islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Yang tidak bisa disamakan dengan agama-agama yang lainnya, dan diera globalisasi sekarang ini sudah dibuktikan kebenaran agama islam, dimana mana Al-Qur’an yang menjadi pedoman memberikan kontribusi yang luar biasa bagi umat manusia.
1. Fungsi pendidikan dalam dimensi keberagamaan
Proses perkembangan agama dalam pendidikan dilatarbelakangi dengan semakin merosotnya moral manusia dalam ruang lingkup keseharian saat ini. Hal inilah yang menjadi tujuan dalam pendidikan, yang bertujuan membina dan mendidik seseorang agar menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak mulia.
Ilmu pengetahuan adalah alat yang harus dimiliki manusia, agar mencapai kesempurnaan dirinya, antara lain meliputi berbagai aspek dalam pembentukan kepribadian dibidang pendidikan, dalam hal ini pendidikan berbasis pesantren lah yang menjadi pondasi utama dalam pelaksanaannya namun tidak meninggalkan antar individu dengan lingkungan dalam sistem pengajarannya, proses dan faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1. Pembentukan hati
· Pembentukan kata hati nurani.
· Pembentukan niat dalam melakukan.
2. Pembentukan kebiasaan
· Kebiasaan berbuat ihsan kepada Allah swt.
· Kebiasaan berbuat ihsan kepada sesama manusia,
· Kebiasaan berbuat ihsan terhadap makhluk Allah lainnya.
3. Pembentukan daya jiwa
· Pembentukan filsafat atau pandangan hidup yang selaras dan seimbang dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan tuntutan agama.
Dari ketiga pembahasan di atas, dalam hal ini memiliki dua nilai, yaitu:
a. Nilai Fungsional
Yang dimaksud disini ialah relevansi bahan dengan kehidupan sehari-hari. Jika bahan itu mengandung kegunaan, atau berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, maka itu berarti memiliki nilai fungsional. Ditinjau dari segi agama, jelas bahwa ajaran itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Nilai Esensial
Maksudnya ialah nilai hakiki yng diajarkan dalam islam. Bahwa kehidupan yang hakiki itu berlanjut di alam baqa, jadi kehidupan itu tidak berhenti di dunia saja, melainkan terus sampai alam akhirat. Dengan demikian seluruh nilai-nilai pengajaran islam itu bermuara pada nilai hakiki atau nilai esensial, yang berbentuk nilai pembersianatau pensucian rohani atau jiwa, yang memungkinkan seseorang untuk siap menerima, memahami dan menghayati ajaran agama islam sebagai pandangan hidupnya menuju manusia yang bermoral dan sesuai dengan landasan-landasan agama yang memungkinkannya untuk selalu menjadikan ajaran agama sebagai landasan dalam bersikap yang baik.
Dengan kesadaran akan adanya Tuhan dalam hidupnya, manusia akan mempertimbangkan segala bentuk hubungan vertikal dengan-Nya. Manusia sadar bahwa Tuhan yang menganugrahkan ajaran-ajaran-Nya kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman dalam memperoleh keselamatan hidupnya. Selain menyadari nilai-nilai susila secara horizontal juga menyadarinya secara vertikal yang bersumber dari Tuhan, yang selanjutnya dimanisfestasikan dalam aturan ataupun ajaran-ajaran agama (Asy’ari, 1999).
Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakekat manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia, tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “ aktualisasi”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.
Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami ( dorongan makan, mempertahankan diri, dll). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri, maka tidak ada bedanya ia dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kearah atatus manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik, tatapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bias terjadi kesalahan-kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan.
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan/pelayanana atas perkembangannya. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
a. Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b. Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
Sosok manusia seutuhnya telah dirumuskan dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan bahwa dari keempat dimensi-dimensi merupakan jiwa manusia yang harus ditata sedemikian rupa, agar dalam pelaksanaan dalam berbuat dan bersikap dalam kesehariannya memiliki aturan dalam pelaksanaannya (sesuai nilai dan moral yang terkandung dalam masyarakat). Faktor yang mempengaruhi semua dimensi sebagian besarnya adalah pendidikan, masyarakat, alam sekitarnya dan lain-lain. Dan dari keempat dimensi yang dibahas, ada satu dimensi yang harus menjadi pegangan agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dimensi keagamaan, dalam hal ini menjadi pondasi yang paling utama dan yang paling indah menuju indahnya hidup didunia dan setelah mati nantinya.
B. Saran
Untuk kita bersama hendaknya lebih memperdalam lagi ilmu agama, karena dengan agama kita akan mendapatkan keempat dimensi tersebut dan menjadi manusia yang seutuhnya. Kritik dan juga saran tidak lupa juga kami mintakan kepada para mahasiswa/i maupun dosen pembimbing untuk penyempurnaan makalah kami berikutnya. Karena kami sadar bahwa penulisan makalah kami banyak memiliki kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alisuf Sabri, pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta.
2. Caroel Wade, Psikologi, Erlangga, Jakarta.
3. Howard S. Friedman, Kepribadian, teori klasik dan riset modern, Erlangga, Jakarta.
4. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta.
5. Zakiah Drajat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
6. Drs. H. Ahmad Ainani Aswat,M.Ag , Pengantar Filsafat Pendidikan, GMPP (Gerakan Mahasiswa Peduli Pendidikan), Martapura
7. Prodi Pendidikan Matematika, Dimensi Manusia, Hakikat dan Tujuan Pendidikan,
[Akses tgl 05 Maret 2014]
[Akses tgl 07 Maret 2014]
10. Rahayu Kusuma Pratiwi, Dimensi Manusia,
[Akses tgl 08 Maret 2014]